Bayangkan setiap anggota tim seperti instrumen dalam sebuah band. Gitaris (pemikir kreatif) perlu sinkron dengan drummer (manajer proyek) untuk menjaga ritme, sementara basis (spesialis eksekusi) mengisi kekosongan. Harmoni tercipta saat semua anggota saling mendengarkan dan memainkan perannya masing-masing.
π Contoh: Saat perencanaan sprint, selaraskan tujuan dan tugas setiap orang, layaknya seorang konduktor yang memandu orkestra agar tetap selaras dengan tempo proyek.
2. Sesi “Jam” Konflik: Ubah Ketidaksepahaman Menjadi Kreativitas
Sama seperti band yang rutin latihan untuk menyempurnakan permainan mereka, konflik dalam tim bisa jadi momen untuk berinovasi. Ciptakan ruang aman agar setiap anggota bisa menyampaikan pendapat dan bekerja sama menemukan solusi.
π Contoh: Ketika dua anggota tim berbeda pendapat soal desain, adakan sesi “jam session” di mana masing-masing mempresentasikan idenya. Dorong kolaborasi untuk menggabungkan elemen terbaik dari kedua ide menjadi solusi yang harmonis.
3. Solo vs Ensemble: Tahu Kapan Harus Sendiri, Kapan Harus Bareng
Tidak semua tugas perlu dikerjakan ramai-ramai. Kadang kerja individu (solo) lebih efektif, sementara di lain waktu, kolaborasi tim (ensemble) menghasilkan output yang lebih kuat. Penting untuk menentukan kapan peran-peran ini dibutuhkan.
π Contoh: Seorang anggota tim bisa menyusun kerangka presentasi secara mandiri (solo), lalu seluruh tim ikut menyempurnakan isi dan visualisasinya (ensemble).